Bebas bersuara adalah salah satu kelebihan era teknologi. Tetapi, ada satu lagi kebebasan yang ditawarkan internet yang dampaknya negatif (terutama bagi anak-anak), yakni kebebasan mengakses situs apa pun, termasuk seronok. Kebebasan dalam berselancar di dunia maya memang telah memudahkan kehidupan. Banyak hal dapat diketahui secara cepat—bahkan yang terjadi di belahan Bumi lain—hanya dengan berada di depan komputer atau smartphone Anda. Namun, layaknya dua sisi mata uang, internet juga memiliki keburukan yang sulit dihindari, semisal soal konten seronok. Dampak yang cukup berbahaya adalah ketika anak-anak kecil dapat mengaksesnya, yang notabene belum secara penuh bisa memegang kendali atas pikiran dan perilakunya. Menurut para pakar pendidikan, sebaiknya anak dikenalkan pada fungsi dan cara menggunakan gadget saat berusia 6 tahun. Di usia tersebut, perkembangan otak anak meningkat hingga 95 persen dari otak orang dewasa. Apabila mengenalkan gadget di bawah usia 6 tahun, anak akan lebih tertarik dengan beragam visual (gambar) dan suara yang keluar dari gadget. Menurut sebuah studi pada 2004 yang dipublikasikan jurnal Pediatrics, anak-anak yang menonton televisi saat usia mereka 1 sampai 3 tahun mengalami penurunan perhatian saat usia mereka 7 tahun. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak tidak akan belajar sesuatu yang substansial—seperti bahasa—dari layar televisi atau personal computer sampai usia mereka 30 bulan. The American Academy of Pediatrics menyarankan orang tua untuk menunda pemberian gadget sampai usia mereka 2 tahun. Era Gen Z Era cyber atau era digital sekarang ini penuh tantangan. Berbagai peralatan supercanggih—khususnya ponsel, komputer, games—secara tidak langsung telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari penggunaan gadget-gadget tersebut tidaklah melulu positif, bergantung pada siapa dan bagaimana menggunakannya. Karena itulah, dibutuhkan upaya preventif agar "generasi Z" yang sedang tumbuh dapat terkontrol dalam menggunakan gadget. Generasi Z merupakan generasi terkini yang lahir sesudah tahun 1994 dan sebelum tahun 2004. Apabila kita amati, anak-anak generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri, di antaranya, memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka mendapat kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya. Secara umum, generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. Generasi Z, yang sekarang sudah berusia praremaja, dalam banyak hal berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, seperti generasi Baby Boomers (lahir 1946–1964), generasi X (lahir 1965–1980), dan generasi Y (lahir 1981–1995). Salah satu perbedaan yang mencolok adalah ketertarikan mereka pada perangkat gadget di saat usia mereka masih sangat muda. Gadget dan Perkembangan Otak Anak Lucy Lidiawati Santioso Psi CHt CMHA CI, penulis buku 21 Jurus Ampuh Menghipnosis Anak, menjelaskan hubungan gadget dengan perkembangan anak. "Menurut referensi penelitian, memberi anak BlackBerry pada usia di bawah 20 tahun bisa merusak bagian otak PFC (pre frontal cortex). Otak depan pada anak sebetulnya belum berkembang baik pada masa ini, dan baru akan ‘matang’ pada usia 25 tahun. Otak depan merupakan pusat yang memerintahkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Sementara reseptor yang mendukung otak depan adalah otak belakang, yang menghasilkan dopamin, yaitu hormon yang menghasilkan perasaan nyaman atau rileks pada seseorang." Paparan pornografi juga erat terkait dengan maraknya gadget yang sudah dimiliki anak-anak sejak dini. Tentunya penggunaan gadget akan memengaruhi perkembangan dan kejiwaan anak. "Bila sejak dini anak sudah terpapar oleh seronok, rekamannya akan sulit dihapus dari ingatan dan pikiran untuk jangka waktu yang lama," ujar psikolog yang akrab disapa dengan Bunda Lucy ini. "Selain itu, anak-anak yang sibuk berjejaring sosial akan membuat mereka lupa keluarga dan lupa belajar. Belum lagi di jejaring sosial ini sudah banyak terdengar anak-anak menjadi korban pelecehan orang dewasa, baik secara emosional maupun fisik." Orang Tua Tidak Boleh Gaptek Menurut Lucy, untuk mencegah atau meredam beragam dampak yang negatif ini, orang tua tidak boleh gaptek atau gagap teknologi. Orang tua perlu belajar tentang semua situs, semua gadget, semua games yang diminati anak, bahkan, kalau bisa, menjadi hacker jika terlihat tanda-tanda gawat darurat. Setelah paham teknologi, ada baiknya orang tua juga senantiasa mendampingi sang anak ketika mereka mengerjakan tugas. Arahkan ke situs-situs apa saja yang perlu atau layak dibuka. "Sekarang orang tua cenderung kasih materi saja ke anaknya, disekolahin ke sekolah yang bagus, dikasih uang, kasih gadget, tapi jadinya cenderung cuek sama anak, padahal kan anak butuh orang tuanya," papar psikolog Baby Jim Aditya MPsi. Jadilah Teladan bagi Anak Anak-anak memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi, apalagi terhadap teknologi. Menurut Ofcom, sebuah organisasi independen yang mengatur penyiaran, telekomunikasi, dan sektor komunikasi nirkabel di Inggris, 99 persen anak usia 12–15 tahun dan 75 persen anak umur 5–7 tahun menggunakan internet secara teratur di Inggris. Hampir seperempat dari remaja di negara itu mengatakan bahwa mereka pernah melihat gambar seksual. Tidak adanya peraturan yang ketat memberikan kemudahan bagi anak-anak untuk melihatnya hanya dengan satu atau dua klik, baik sengaja mencari maupun tidak sengaja terbuka. Di Indonesia, kalau bicara soal seronok, anak-anak tak melulu mendapat pengaruh buruk dari lingkungan sosial. Banyak kasus anak-anak yang mulai berkenalan dengan seronok justru dari keluarga. "Ada anak SMP yang ketika saya tanya nonton film por-no pertama kali di mana, dan jawaban dia adalah dari DVD player ayahnya," ujar Baby yang juga dikenal sebagai seksolog yang biasa diundang mengajar pendidikan seks di sekolah-sekolah menengah pertama. Baby menambahkan bahwa ada juga anak-anak yang menemukan gambar-gambar tak senonoh yang disimpan di Blackberry orang tuanya, atau history di gadget orang tuanya, seperti laptop atau iPad. Tak heran kalau Indonesia termasuk negara dengan konsumen seronok yang sangat tinggi. Oleh karena itu, orang tua juga perlu berkaca pada dirinya sendiri, tidak hanya memarahi anak, tapi juga memberikan contoh yang baik dan benar. Selain itu, jadilah teladan terdepan saat memanfaatkan gadget. "Jangan sampai orang tua melarang anak berlama-lama dengan gadget-nya, tapi orang tua sendiri asyik menggunakan ponsel pintar. Kalau bisa, matikan smartphone saat berada di rumah, jalin interaksi dengan anak dan keluarga di rumah," ujar Bunda Lucy. Cyber Law Malaysia, Singapura, dan Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan cyber law yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act 1997, Communication and Multimedia Act 1998, dan Digital Signature Act 1997. Sementara Singapura memiliki The Electronic Act 1998 dan Electronic Communication Privacy Act 1996. Di Amerika, cyber law diimplementasikan dengan kesiapan aparat. Child pornography di Amerika bahkan diimplementasikan dengan memberi jebakan ke para pedofil dan pengembang situs porno anak-anak. Di Amerika, cyber law sudah cukup baik karena cakupan ruang lingkup undang-undangnya lebih sempit dikelompokkan berdasarkan kategori, misalnya hukum tentang child pornography ada penerapan Undang-Undang US Child Online Protection Act (COPA), US Child Por-nography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), dan US New Laws and Rulemaking. Mengenai cyber law, Indonesia memunyai UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Adapun materi yang diatur dalam UU ITE beberapa di antaranya mengenai konten ilegal seperti kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan. Tentu hal itu perlu lebih intens ditegakkan mengingat menurut Information and Communication Technology (ICT) Watch, hingga 2011, pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta, naik 110 kali lipat dari jumlah pengguna 500.000 pada 1998. Di kalangan pemilik akun Facebook, Indonesia menempati posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan India, dengan jumlah 43,06 juta pemilik akun. Sedangkan, di jejaring sosial Twitter, pemilik akun dari Indonesia berjumlah 19,5 juta. Dengan angka itu, Indonesia menempati posisi kelima pemilik akun Twitter terbanyak di dunia. Perlukah seperti China? China bisa dibilang satu-satunya negara dengan sistem sensor yang sangat rumit. Tidak banyak situs luar yang diperbolehkan masuk tanpa izin ke negara ini. China pernah menginginkan Google memfilter kontennya. Karena itulah Google sangat geram bekerja sama bisnis dengan China karena, bagi Google, sistem sensor ketat ini berarti terang-terangan menentang kebebasan berpendapat. Eric Schmidt, CEO Google, mengatakan regulasi China tersebut lambat laun akan menyulitkan mereka sendiri untuk jangka panjangnya. Pemerintah China mewajibkan setiap internet cafe (atau yang di sini biasa dikenal dengan warung internet) untuk merekam semua data aktivitas chatting, game online, dan e-mail untuk diserahkan kepada pihak pemerintah. Pelanggar dapat dikenai hukuman yang beragam, bergantung pada kasus pelanggarannya. Hasilnya, pada 2008, dikabarkan China telah menghapus lebih dari du juta situs haram bagi mereka. Jadi, regulasi siapa yang lebih baik diikuti oleh Indonesia? Arm/R-1 Komentar Psikolog Aurora L Toruan MPSi Psi Tak Sekadar Memberikan Batasan Berkat era informasi, seorang pelajar bisa mendapatkan akses pengetahuan yang tiada batas. Namun, di balik kebaikannya, teknologi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap anak. Menurut dia, orang tua harus memahami dulu gaya atau pola asuh yang akan mereka terapkan. Selama ini, mungkin ada yang menerapkan pola otoriter. Orang tua melarang semua keinginan anak. Dalam pola ini, seorang anak harus mematuhi semua peraturan yang telah dibuat oleh orang tua sehingga sang anak tidak bebas bersuara. "Pola otoriter akan melarang semua kegiatan, dengan anggapan kalau misalnya kebanyakan main games, pelajaran jadi terganggu. Walaupun mereka menerapkannya seperti itu, belum tentu juga mereka melakukan pengawasan dan penjelasan yang tepat," jelas Aurora. Ada juga pola asuh permisif, yakni orang tua akan lebih memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih atau melakukan apa pun yang ia mau. "Biasanya mereka punya prinsip atau pemahaman, nanti anak itu tahu sendiri akibatnya, atau nantinya anak akan belajar sendiri hal-hal yang boleh dan tidak boleh." Aurora menganjurkan seharusnya para orang tua tidak hanya memberikan batasan penggunaan konten seperti games atau internet, tetapi juga mengawasi anak dalam menggunakan berbagai teknologi. "Anak didampingi dulu bagaimana menggunakan teknologi ini, diberikan pengarahan apa yang boleh dan tidak, lalu dilepas sebentar, terus dilihat mereka masih bertanggung jawab nggak, misalkan, dengan proses belajarnya," ungkap Aurora. Jika sudah ada pengawasan atau penjelasan dari para orang tua mengenai teknologi yang akan digunakan, sang anak nantinya pun secara tidak langsung berpikir bahwa kebebasan yang mereka miliki juga ada batasannya. Aurora juga menjelaskan bahwa para orang tua memang punya andil besar kapan anak-anak mereka harus memiliki atau menggunakan teknologi seperti games, internet, dan ponsel. "Kita harus lihat fokus ataupun prioritas dari masa perkembangannya," ujar Aurora. Menurut dia, orang tua sudah sepatutnya mengerti terlebih dahulu fokus yang diterapkan ke anak-anak mereka karena setiap anak dengan usia yang berbeda-beda memiliki fokus yang berbeda pula. "Kalau anak usia sekolah memang dia diharapkan memahami banyak hal. Anak preschool sebenarnya dia lagi belajar untuk bersosialisasi dan mengikuti aturan di sekolah, jadi penggunaan games dan gadget ya seperlunya aja. Tapi itu juga seharusnya dibatasi. Teknologi yang diberikan oleh dia itu sesuai dengan kegunaannya saja." Aurora menyadari bahwa kemajuan teknologi mungkin akan membantu anak-anak dalam berbicara, seperti teknologi yang ada dalam sebuah iPad, namun ia menjelaskan bahwa anak-anak seharusnya tidak sekadar diajarkan untuk berbicara. Mungkin anak-anak bisa meniru berbicara seperti yang ia lihat dari iPad, tapi jika mereka berinteraksi langsung dengan orang lain, bukan hanya belajar berbicara, anak-anak nantinya juga dapat memahami tanda-tanda nonverbal yang diberikan oleh lawan bicaranya. "Kalau dengan teknologi tidak bisa seperti itu. Ada aspek ekonomi dan sosial yang belum bisa diterapkan oleh teknologi ataupun internet," ujar Aurora. Selain memberikan batasan penggunaan teknologi pada anak, dia berpendapat hal lain yang lebih penting adalah para orang tua memberikan waktu mereka untuk lebih mendekatkan diri pada sang anak. "Orang tua harus tahu mengapa anak-anaknya kecanduan teknologi. Mungkin mereka stres karena tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, akhirnya mereka melampiaskannya dengan games ataupun internet. Atau mereka tidak mampu menjalin relasi sosial, lalu mengalihkan perhatian ke games," pungkas Aurora. Gaz/R-1 |
Website www.koran-jakarta.com 29 April 2013 Judul : Singkap “History” Online Generasi Z |
KEARA Pakar psikologi |